kaidah tafsir al-tikrar
Pembahasan
A. Pengertian Tikrar
Kata al-tikrar (التكرار ) adalah
masdar dari kata kerja "كرر" yang merupakan rangkaian kata dari
huruf ك-ر-ر.
Secara etimologi berarti mengulang atau mengembalikan sesuatu berulangkali.[1]
Adapun menurut istilah al-tikrar berarti
"اعادة اللفظ او مرادفه لتقرير المعنى" mengulangi lafal atau yang sinonimnya untuk
menetapkan (taqrir) makna. selain itu, ada juga yang memaknai al-tikrar dengan "ذكر
الشيء مرتين فصاعدا" menyebutkan
sesuatu dua kali berturut-turut atau penunjukan lafal terhadap sebuah makna
secara berulang.[2]
Disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan al-tikrar adalah pengulangan redaksi kalimat atau ayat
dalam al-Qur’an dua kali atau lebih, baik itu terjadi pada lafalnya
ataupun maknanya dengan tujuan dan alasan tertentu.
Al-Tikrar (pengulangan) dibagi dua
macam :
1. Tikrar al-lafdzi,
yaitu pengulangan redaksi ayat di dalam al-Qur’an baik berupa
huruf-hurufnya, kata ataupun redaksi kalimatnya dan ayatnya, Contoh
pengulangan ayat terdapat pada surahar Rahman: فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
. Ayat ini berulang kurang 31 kali dalam surah tersebut.
2. Tikrar al-ma’nawi,
yaitu Pengulangan redaksi ayat di dalam al-Qur’an yang pengulangannya
lebih di titik beratkan kepada makna atau maksud dan tujuan pengulangan
tersebut, Sebagai contoh surah al Baqarah ayat 238: “As Salat al
Wusta” yang disebut dalam ayat diatas adalah pengulangan makna dari kata “as
Salawat” sebelumnya, karena masih merupakan bagian darinya. Adapun
penyebutannya sebagai penekanan atas perintah memeliharanya.
B. Fungsi dan
Urgensi Tikrar
1. Sebagai taqrir (penetapan)
Sejalan dengan fungsi dasar dari
kaedah tikrar bahwa setiap perkataan yang terulang
merupakan taqrir (ketetapan) atas hal tersebut, contoh:
(الكَلاَ مُ
إِذَا تَكَرَّرَ تَقَرَّرَ ) manusia dengan mengulang-ulang kisah nabi dan
umat terdahulu, nikmat dan azab, begitu juga janji dan ancaman. Maka
pengulangan ini menjadi satu ketetapan yang berlaku.[3]
2. Sebagai Ta’kid (penegasan) dan menuntut
perhatian lebih.
Pembicaraan yang diulang mengandung unsur penegasan atau penekanan, menggunakan
pola tikrar setingkat lebih kuat dibanding dengan bentuk ta’kid.
Hal ini karena tikrar terkadang mengulang lafal yang
sama, sehingga makna yang dimaksud lebih mengena.[4]
3. Pembaruan terhadap penyampaian yang
telah lalu
Jika ditakutkan poin-poin yang ingin disampaikan hilang atau dilupakan
akibat terlalu panjang dan lebarnya pembicaraan yang berlalu maka, diulangilah
untuk kedua kalinya guna menyegarkan kembali ingatan para pendengar.
4. Sebagai ta‘zim (menggambarkan agung dan besarnya satu perkara).
fungsi dari tikrar atau
pengulangan adalah untuk menggambarkan besarnya hal yang dimaksud.
C. Kaidah penafsiran al-Tikrar
Ada beberapa kaidah yang
berkaitan dengan al-tikrar fi al-Qur’an, sebagai berikut:
1. Kaidah Pertama :
“Terkadang Adanya pengulangan karena banyaknya hal
yang berkaitan dengannya (maksud yang ingin disampaikan).”[5] Setiap kisah yang
diikuti oleh lafal للمكذبین یومئذ ویل berulang sampai sepuluh kali tersebut yang
menunjukkan bahwa celaan itu dimaksudkan kepada orang-orang yang berkaitan
dengan kisah sebelumnya.[6]
2. Kaidah Kedua :
“ Tidak
terjadi pengulangan ayat dengan lafal dan makna yang sama antara dua hal yang
berdekatan dalam kitabullah tanpa adanya pemisah ” Sebagai contoh
lafal “basmallah” dengan surah al Fatihah ayat 3: الرَّحْ مَنِ الرَّحِیمِ Ibnu Jarir mengatakan bahwa kaidah ini
justru merupakan hujjah terhadap orang-orang yang berpendapat bahwa basmallah
merupakan bagian dari surah al Fatihah, karena jika demikian, maka dalam Al
Qur’an terjadi pengulangan ayat dengan lafal makna yang sama tanpa adanya
pemisah yang maknanya dengan makna kedua ayat yang berulang tersebut.
3. Kaidah
Ketiga :
“Tidak ada perbedaan lafal kecuali terdapat perbedaan
makna didalamnya. Kedua lafal ini mempertegas unsur kemustahilan – dulu, selalu
dan selamanya.”[7]
4. Kaidah Keempat :
“ Orang
Arab senantiasa mengulangi sesuatu dalam bentuk pertanyaan untuk menunjukan mustahil
terjadinya hal tersebut atau kemungkinan kecil akan terjadi pada diri seseorang
” Maka bangsa arab mempergunakan bentuk (إستفھام) pertanyaan tanpa menyebutkan
maksudnya secara langsung.[8]
5. Kaidah
Kelima.
“Setiap hal yang mengalami pengulangan berarti memiliki nilai tambah
hingga menunjukkan perhatian atas hal tersebut.” Sifat-sifat
Allah swt. yang kerap berulang kali dalam al-Qur’an pada setiap surah
menegaskan pentingnya untuk mengetahui dan kewajiban mengimaninya. Begitu
juga dengan berbagai kisah umat terdahulu sebagai contoh yang sarat pesan dan
hikmah.[9]
6. Kaedah Keenam:
“Jika hal yang
berbentuk nakirah (umum/tidak diketahui) mengalami pengulangan maka ia
menunjukkan berbilang, berbeda dengan hal yang bentuknya ma‘rifah
(khusus/diketahui)” penulis mengambil contoh kaidah ini dalam
al-qur’an[10], Lafal ضعفا pada ayat ini terulang tiga kali dalam
bentuk nakirah bahkan menurut al Qurtubi, arti ضعفا pertama adalah terbentuknya manusia dari نطفة ضعیفة sperma yang lemah dan
hina, kemudian beranjak ke fase 37 keadaan manusia yangحالة الضعیفة في الطفولة والصغر kedua yaitu lemah pada masa awal kelahiran, kemudian ditutup
dengan fase keadaan lemah saat” (حالة الضعیفة في الھرم
والشیخوخة)
ketiga yaitu usia senja dan jompo.[11]
7. Kaedah Ketujuh:
"“Jika ketetapan dan jawaban (keterangan)
bergabung dalam satu lafal maka hal itu menunjukkan keagungan (besarnya) hal
tersebut” Sebagai contoh surah al Haqqah ayat 1-2: الْحَاقَّةُ (1) مَا الْحَاقَّةُ (2) “Hari Kiamat, apakah hari Kiamat itu
?” Dalam contoh ini, lafal yang menjadi ketetapan (mubtada’) dan keterangan
(khabar) adalah lafal yang sama. Kata “ الحاقة ” diulang dan bukan menggunakan lafal “ ماھي؟ ”,
pengulangan lafal mubtada’ sebagai jawaban atau keterangan seperti ini.
D. Contoh Penafsirannya
Q.S. an_Nur:53
53.
Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu
suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: "Janganlah
kamu bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sudah
dikenal. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ini
masuk pada Kaidah
Pertama :
“Terkadang Adanya pengulangan karena banyaknya hal
yang berkaitan dengannya (maksud yang ingin disampaikan.” Di maksudkan
untuk mempertegas maksud konteks ayat bahwa janganlah kalian bersumpah
atas nama allah dengan kuat-kuat di medan perang karena di khawatirkan mereka
akan pergi dan di pertegaskan lagi dengan makna yang sama oleh allah supaya
maksud allah dalam ayat ini
tersampaikan.
[1] . Abu al Husain, Maqayis alLughah, Juz. V ,
(Beirut: Ittihad al-Kitab al‘Arabi, 2002), hal. 126. Lihat juga Muhammad Ibn Manzhur,
Lisan al‘Arab, Juz. V, Beirut: Dar al Shadir, t.th, hal. 135.
[2] . Khalid ibn Usman as Sabt, Qawa’id at
Tafsir, Jam’an wa Dirasah, Juz. II,( tt: Dar ibn ‘Affan, 1997) , hal. 701
[3] . M. Quraish Shihab, Tafsir alMisbah, Jil.
I, Cet. II (Jakarta : Lentera Hati,
2009), hal. 626-627
[4]
. Jalal adDin ‘Abd ar Rahman as Shuyuthy, al Itqan
fi ‘Ulum alQur’an, Juz. III,( Kairo: Dar elHadits, 2004), hal. 170
[5] Departemen Agama R.I, alQur’an dan
Terjemahannya ,(Jakarta: CV. Kathoda, 2005), hal. 774.
[6]. Lihat. QS. Al-Mursalat: 19- 24
[7] Ibn Jarir
At Thabari, Jami‘ al Bayan ‘an Ta‘wil al-Qur’an, juz XVI.( Cet. I;
Cairo: Markaz al-Buhuts wa al-Dirasat al‘Arabiyyat al Islamiyyah, 2001), hal. 661
[8] . Departemen Agama R.I, Alquran dan
terjemahnya, (Jakarta: CV. Kathoda, 2005), hal. 478.
[9]
. Khalid ibn Usman as Sabt, Qawa‘id at Tafsir,
( tt: Dar ibn ‘Affan, 1997), hal.709
[10]
. lihat Q.S. ar-Rum:54
[11].
Lihat al-
jami li ahkam qur’an, QS.ar-rum:54
Comments
Post a Comment