Definisi wakaf dalam lingkup empat madzhab
I.
Wakaf
A.
Pemgertian
Wakaf dalam bahasa Arab: وقف, (waqf), dalam bentuk
jamaknya atau plural bahasa Arab: أوقاف adalah perbueatan yang
dilakukan wakif ( pihak yang melakukan wakaf) untuk menyerahkan sebagian atau
keseluruhan harta benda yang dimilikinya
untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat Islam untuk selama-lamanya.
Objek yang diwakafkan adalah harta bergerak maupun yang tidak
bergerak. Harta tidak bergerak bisa dalam bentuk tanah, hak milik ats rumah
susun. Sementara untuk objek harta wakaf bergerak dapat dalam bentuk uang.[1]
Terminologi wakaf berasal dari bahasa Arab “waqafa’’ yang
berarti berhenti atau menahan. Sementara dari segi istilah, wakaf telah
diberikan beberapa takrif (pengertian) seperti:
a.
Menurut
Sayyid Sabiq sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqhusSunnah wakaf
berarti menahan harta untuk dapat diberikan manfaatnya di jalan Allah.
b.
Menurut
Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hassan , wakaf berarti menahan
‘ain mawquf (benda) sebagai milik Allah atau pada hukum milik Allah dan
menyedekahkan manfaatnya untuk kemasslahatan uamat Islam.
c.
Menurut
Dr. Muhammad al-Ahmad Abu an-Nur, mantan Menteri Wakaf Mesir, wakaf berarti
harta atau tanah yang di tahan oleh pemiliknya sekiranya dapat menghalang
penggunaannya dengan dijual atau dibeli ataupun diberikan sebagai pemberian
dengan syarat dibelanjakan faedahnya atau keuntungannya atau hasil mahsulnya
kepada orang yang ditentukan oleh pewakaf.
Istilah wakaf adalah berkait erat dengan infaq, zakat dan sedekah.
Ia adalah termasuk dalam mafhum infaq yang disebut oleh Allah sebayak 60 kali
dalam al-Qur’an, Ketiga perkara ini bermaksud memindahkan sebahagian daripada
segolongan umat Islam kepada mereka yang memerlukan. Namun, berbanding zakat
yang diwajibkan ke atas umat Islam yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan
sedekah yang menjadi sunat yang umum ke atas umat Islam, wakaf lebih bersifat pelengkap
( complement ) kepada kedua perkara tersebut. Di samping itu, apa yang
disumbangkan melalui zakat adalah tidak kekal di mana sumbangannya akan di
gunakan dalam bentuk hangus, sedangkan harta wakaf adalah berbentukproduktif
yaitu kekal dan boleh diintegrasikan ke dalam pelbagai bentuk faedah masa
depan.[2]
Dan dalam penertian lain kata “Wakaf’’ atau “Wacf’’ berasal dari
bahasa Arab “Waqafa’’. Asal kata “Waqafa’’ berarti “menhan’’ atau “berhenti’’
atau “diam ditempat’’ atau “tetap berdiri’’. Kata “Waqafaf-Yaqifu-Waqfan’’ sama
artinya dengan “Habasa-Yahsibu-Tahsiban’’. Kata al-Waqf dalam bahasa Arab
mengandung beberapa pengertian:
اَلْوَقْفُث بِمَعْنَ التَحْبِيْسِ وَالتَّسْبِيْلِ
Artinya: Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan.
Menurut Istilah Ahli Fiqih
Para ahli fiqih berrbeda dalam
mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga mereka berbeda pula dalam
memandang hakikat wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf menurut
istilah sebagai berikut.
a.
Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan suatu benda menurut hukum, tetap milik si
wakif dalam rangka mempergunakan wakafnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi
itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan
menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Karena itu mazhab Hanafi
mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda,
yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada
suatu pihak kewajiban (sosial), baik sekarang maupum akan datang’’.
b.
Mazhab
maliki
Mazhab maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta
yang diwakafkan dari kepemilikan wakaf, namun wakaf tersebut mencegah wakif
melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut
kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak
boleh menarik kembali wakafnya. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa
tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal
(selamanya).
c.
Mazhab
Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta
yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelahsempurna prosedur perwakafan.
Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan.
d.
Mazhab
lain
Mazhab lain sama dengan mazhab
ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu
menjadi milik mauquf’alaih (yang diberi wakaf), meskipun mauquf’alaih
tidak berhak melakukan suatu
tindakan atas benda wakaftersebut, baik menjual atau menghibahkannya.[3]
II.
Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang menjadi dasar
disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari:
a.
Ayat
Al-Qur’an, antara lain:
وَافْعَلُوا
الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (الحج )
“Perbuatlah kebajikan,
supaya kamu mendapat kemenangan’’ (QS : al-Haj : 77).
لَنْ
تَنَالُوْاالْبِرَّ حَتَّ تُنْفِقُواْ مِمَّاتُحِبُّوْنَ وَمَاتُنْفِقُواْمِنْ
شَىءٍفَاِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيْمٌ (ال عمرن)
“Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menakafkan sebagian harta
yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkankan, maka sesungguhnya Allah
mengetahui’’. (QS : Ali Imran : 92).
مَثَلُ
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالُهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّتِ
اَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُمْبُلَةٍ مِا ئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ
يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُوَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ(البقرة)
“Perumpamaan (Nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkankan hartanya di jalan Allah, adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir
menumbuhkan seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang
Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunianya) Lagi Maha Mengetahui’’. (QS
al-Baqarah : 261).
b.
Sunnah
Rasulullah SAW.
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِذَامَاتَ ابْنُ اَدَمَ اِنْقِطَعَ عَمَلُهُ
اِلاَّمِنْ ثَلاَثٍ, صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ
صَلِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW bersbda :
“Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali
tiga perkara : Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang
mendoakan orang tuanya’’.(HR. Muslim).
Adapun penafsiran shadaqah jariyah hadists tersebut adalah:
ذَكَرَهُ فِيْ بَابِ الْوَقْفِ لِأِنَّهُ فَسَّرَالْعُلَمَاءُالصَّدَقَةَ
الْجَارِيَةَ بِالْوَقْفِ
Hadis tersebut dikemukakan di dalam bab wakaf, karena para ulama
menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf (Imam Muhammad Ismail al-Kahlani,
tt., 87).
Ada hadis Nabi yang lebih tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah
wakaf, yauti perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di
khaibar:
عن ابن عمر رضي اللّه عنهماقال: أَصَابَ عُمَرَأَرْضًابِخَيْبَرَفَأَتَى
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمُرُفِيْهَافَقَالَ:
يَارَسُوْلَ اللَّهِ إِنِّيْ أَصَبْتُ أَرْضًابِخَيْبَرَلَمْ أُصِبْ مَالًاقَطُّط
هُوَأَنْفَسُ عِنْدِيْ مِنْهُ فَمَاتَأْمُرُنِيْ بِهِ . فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ اَصْلَهَاوَتَصَدَّقْتَ
بِهَاوَتَصَدَّقَ بِهَاعُمَرُ, أَّنَّهَالَاتُبَاعُ وَلَاتُؤْهَبُ وَلَاتُؤْرَثُ,
قَالَ وَتَصَدَّقَ بِهَافِيْ الفُقَرَاءِوَفِيْ الرِّقَابِ وَفِيْ سَبِيْلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لَاجُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيُّهَاأَنْ
يَأْكُلَ مِنْهَابِالْمَعْرُوْفِ وَيُطْعِمُ غَيْرَمُتَمَوِّلَ(رواه مسلم)
“Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap Rasulullah untuk memohon
petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di
Khaibar, saya belum pernah mendapat harta sebaik itu, maka apa yang engkau
perintahkan kepadaku? Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan
(pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan
shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Berkata
Rasulullah: Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak
belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang
bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan
cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta’’
(HARI. Muslim).
Dalam sebuah hadis yang lain disebutkan:
عَنِ ابْنِ عُمَرْ قَالَ: قَالَ عُمَرُ للِنَّبِي صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ ئَةَ سَهْمٍ الَّتِيْ لِيْ بِخَيْبَرَ لَمْ اُصِبْ
مَالًا قَطُّ اُعْجِبُ اِلَىَّ مِنْهَاقَدْ اَرَدْتُ اَنْ اَتَصَدَّقَ بِهَا,
فَقَالَ النَّبِىُّ صلعم: اَحْبِسْ اَصْلَهَا وَسَبِّلْ ثَمْرَنَهَا (رواه البخارى
ومسلم)
Dari Ibnu Umar, ia berkata:”Umar mengatakan kepada Nabi SAW saya
mempunyai seratus dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah menyedekahkannya.
Nabi SAW mengatakan kepada Umar: Tahanlah (janganlah jual, hibahkan dan wariskan)
asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabililah’’. (HARI.
Bukhari dan Muslim).
Sedikit sekali memang ayat al-Qur’an dan as-Sunnah yang menyinggung
tentag wakaf. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan
berdasarkan kedua sumber tersebut. Meskipun demikian, ayat al-Qur’an dan Sunnah
yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fiqih Islam. Sejak masa
Khulafa’u Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan
hukum-hukum wakaf melalui ijtihad mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum
wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode
ijtihad yang bermacam-macam, seperti qiyas dan lain-lain.[4]
III.
Macam-macam Wakaf
a.
Wakaf
Ahli
Yaitu wakaf yang ditujukan
kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan.
Wakaf seperti ini juga disebut wakaf Dzurri.
Apabila ada seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya,
lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah
mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf jenis ini (wakaf
ahli/dzurri) kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf yang diperuntukan
bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga (family),
lingkungan kerabat sendiri.
Wakaf untuk keluarga ini secara hukum dalam Islam dibenarkan
berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Anas bin
Malik tentang adanya wakaf kelurga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. Di ujung
hadis tersebut dinyatakan sebagai berikut:
قَدْ سَمِعْتُ مَاقُلْتَ فِيْهَا, وَاِنِّى اَرَى اَنْ تَجْعَلَهَا
فِى الْأَقْرَبِيْنَ, فَقَسَّمَهَا اَبُوْ طَلْحَةْ فِى اَقَارِبِهِ وَبَنِى
عَمِّهِ
Artinya: Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya
berpendat sebaiknya kamu memberikannya kepada kelurga terdekat. Maka Abu
Thalhah membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak pamannya.
wakaf ahli untuk saat ini diangga
kurang dapat meberikan manfaat bagi kesejahtaraan umum, karena sering
menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan oleh keluarga yang
diserahi harta wakaf. Di beberapa Negara tertentu, seperti: Mesir, Turki,
Maroko, dan Aljazair, wakaf untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena
pertimbangan dari berbagai segi, tanah-tanah wakaf dalam bentuk ini dinilai
tidak produktif. Untuk itu, dalam pandangan KH. Ahmad Azhar Basyir MA, bahwa
keberadaan wakaf jenis ahli ini sudah selayaknya ditinjau kembali untuk
dihapuskan.
IV.
Wakaf Khairi
Yaitu,wakaf
yang secara tegaas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan
(kebajikan umum). Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan
masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain
sebagainya.
Jenis wakaf ini
seperti yang dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang menceritakan tentang
wakaf Sahabat Umar bin Khattab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir
miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya yang berusaha
menebus dirinya. Wakaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas
penggunaannya yang mencakup manusia pada umunya. Kepentingan umum tersebut bisa
untuk jainan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan dan lain-lain.
Dalam tinjauan
pengguanannya,wakaf jenis ini lebih banyak manfaatmya dibandingkan dengn jenis
wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihk-pihak yang ingin mengambil manfaat.
Dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan
itu sendiri secara umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif (orang yang
mewakafkan harta) dapat mengambil manfaat dari harta yang diwakfkan itu,
seperti wakaf masjid maka si wakif boleh saja disana, atau mewakafkan sumur,
maka si wakif boleh mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana pernah
dilakukan oleh nabi dan Sahabat Utsman bin Affan. Secara substansinya, wakaf
inilah yang merupakan salah satu segi dari cara membelanjakan (memanfaatkan)
harta di jalan Allah SWT. Dan tentunya kalau dilihat dari manfaat kegunaanya
merupakan salah satu sarana pembangunan, baik di bidang keagamaan, khususnya
peribadatan, perekonomian, kebudayaan, kesehatan, keamanan dan sebagainya.
Dengan demikian, benda wakaf tesebut benar-benar terasa manfaatnya untuk
kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya untuk keluarga atau kerabat yang
terbatas.[5]
V.
Syarat dan Rukun Wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya.
Rukun wakaf ada
empat (4),yaitu:
a.
Wakif
(orang yang mewakafkan harta).
b.
Mauquf
bih (barang atau harta yang diwakafkan).
c.
Mauquf
‘alaih (pihak yang diberi wakaf/peruntukan wakaf).
d.
Shighat
(peryataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian
harta bendanya).
Syarat
wakif
Orang
yang mewakafkan (wakif) disyaratkan memiliki kecakapa hukum atau kamalul
ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya.kecakapan bertindak
meliputi 4 kriteria yaitu:
a.
Merdeka
Wakaf yang dilakukan oleh seorang
budak (hamba sahaya) tidak sah karena wakaf adalah pengguran hak milik dengan
cara memberikan hak milik itu kepada orang lain.
b.
Berakal
Sehat
Wakaf
yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya sebab ia tidak berakal, tidak
mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya.
c.
Dewasa
(Baligh)
Wakaf
yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh) hukumnya tidak sah karena ia
dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak pula untuk menggugurkan hak
miliknya.
d.
Tidak
Berada Dibawah Pengampuan (boros atau lalai)
Orang
yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan
(tabarruk) maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah.
VI.
Benda Ynag Bisa Diwakafkan
a.
Madzhab hanafi
Harta yang sah
diwakafkan adalah benda tidak bergerak.
·
Benda
tidak bergerak
Benda tidak bergerak ini dipastikan ‘ainnya memiliki sifat kekal
dan memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus.
·
Benda
bergerak
Madzhab Hanafi memperbolehkan wakaf benda bergerak sebagai
pengecualian dari prinsip. Benda jenis ini sah jika memenuhi beberapa hal: Pertama,
keadaan harta bergerak itu mengikuti benda tidak bergerak dan ini ada dua
macam: (1) Barang tersebut mempunyai hubungan dengan sifat diam ditempat dan
tetap, mislnya banunan dan pohon. Menurut madzhab ini bangunan dan pohon
termasuk benda bergerak yang bergantung pada benda tidak bergerak. (2) Benda
bergerak yang dipergunakan untuk membantu benda tidak bergerak, seperti alat
untuk membajak, kerbau, yang dipergunakan bekerja dan lain-lain. Kedua,
kebolehan wakaf benda bergerak itu berdasrkan atsar yang membolehkan wakaf
senjata dan binatang-binatang yang dipergunakan untuk perang sebagai mana yang
diriwayatkan bahwa Khalid bin Walid pernah mewakafkan senjatanya untuk
berperang di jalan Allah. Ketiga, wakaf benda bergerak itu mendatangkan
pengetahuan seperti wakaf kitab-kitab dan mushaf. Menurut madzhab ini
pengetahuan adalah sumber pemahaman dan itdak bertentangan dengan nash.
b.
Madzhab syafi’i
Menurut ulama
yang mengikuti Imam Syafi’i bahwa barang yang diwakafkan haruslah barang yang
kekal manfaatnya, baik berupa barang tak bergerak, barang bergerak maupun
barang kongsi (milik bersama).
c.
Madzhab maliki
Madzhab maliki berpendapat boleh
juga mewakafkan benda bergerak, baik yang menempel dengan yang lain, baik ada
nash yang memperbolehkannya atau tidak, karena madzhab tidak mensyaratkan
ta’bid (harus selama-lamanya) pada wakaf, bahkan menurut madzhab ini wakaf itu
sah meskipun sementara.[6]
[1]
Tim El-Madani,Tata Cara Pembagian Waris Dan Pembagian Wakaf, Pustaka Yustisia,
Jakarta, hlm. 101.
[2]
Ibid., hlm. 102.
[3]
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama RI, Jakarta, hlm. 1-4.
[4]
Ibid., hlm. 11-14.
[5]
Ibid., hlm. 14-17.
[6]
Ibid., hlm. 21-33.
Comments
Post a Comment